Bulan
Ramadhan sudah di ujung hari, hiruk-pikuk sudah berganti, menyongsong syawal
Idul Fitri. Lantas akankah masih membekas rutinitas kita di bulan Ramadhan
tahun ini, sebagai bekal untuk menggapai Ridho ilahi dan menyambut Ramadhan
tahun berikutnya.
Kita
semua berharap, masih ada kekuatan Ramadhan yang senantiasa kita bawa di
bulan-bulan berikutnya, yaitu takwa sebagai spirit (kekuatan) yang melekat pada
diri kita, yang menjadi tujuan utama pelaksanaan ibadah puasa, sesuai dengan
apa yang tersirat dalam firman Allah SWT:
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah
[2]: 183)
Imam
ath-Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah "Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rosul-Nya.."
Ibnu
Katsir menafsirkan ayat ini, "Firman
Allah SWT ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan
ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa.”
Dari
ayat ini kita melihat dengan sangat gamblang adanya kaitan antara puasa dengan
keimanan seseorang. Allah SWT memerintahkan puasa kepada orang-orang yang
memiliki iman. Dengan demikian Allah SWT pun hanya menerima puasa dari
jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Puasa juga merupakan tanda
kesempurnaan keimanan seseorang.
Sejatinya
perintah puasa di bulan Ramadhan semata-mata ditujukan hanya kepada orang yang
beriman agar ia menjadi hamba yang bertakwa. Untuk itulah penting kita memahami
apa itu iman, sudahkah kita menjadi hamba yang beriman yang tergolong kedalam
orang-orang yang diseur dalam ayat tadi, dan takwa seperti apakah yang
diharapkan melekat pada diri kita pasca Ramadhan.
Makna Iman
Apakah
iman itu? Secara bahasa artinya percaya
atau membenarkan (Lihat: QS Yusuf [12]: 17).
Dan
secara gamblang Rosulullah swa. Mejelaskan makna iman dalam sebuah hadis: “Iman adalah engkau mengimani Allah, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Kiamat, qadha dan qadar
yang baik maupun yang buruk.” (HR Muslim).
Demikianlah
enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang beriman. Orang yang enggan
beribadah hanya kepada Allah, atau menyembah selain kepada Allah, bukanlah
orang yang beriman. Orang yang enggan mengimani Muhammad saw. Sebagai Rasulullah,
tidak mempercayai keberadaan maikat, tidak percaya kedatangan Hari Kiamat dan
tidak mempercayai takdir juga bukan orang yang beriman. Orang yang menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal, misalnya menghalalkan zina atau menolak
penerapan Islam secara kaffah, adalah
kafir (tidak beriman). Orang yang mengingkari atau ragu terhadap perkara yang
pasti (qath’i) juga tidak beriman (kafir), sama saja apakah dalam perkara
akidah ataupun dalam perkara syariah.
Iman
menuntut konsekuensi, tidak hanya ucapan dimulut, Allah SWT berfirman: “Demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka tidak menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisa’ [4]:
65).
“Tidaklah patut laki-laki Mukmin maupun
perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
aka nada bagi mereka pilihan (lain) tentang urusan mereka. Siapa saja yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah benar-benar tersesat.” (QS
al-Ahzab [33]: 36).
Dengan
demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan
melaksanakan shalat, membayar zakat dan amalan-amalan lahiriah lainya, atau enggan
terikat dengan syariah Allah SWT yang manapun. Orang mukmin itu harus terikat
dengan Islam secara keseluruhan tanpa kecuali. Dia wajib menjalankan ibadah
mahdhah seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Dia wajib terikat dengan syariah
dalam hal makanan, minuman, pakaian dan akhlaq. Dia juga wajib terikat dengan
syariah dalam hal muamalah seperti masalah politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan keamanan, pendidikan, kesehatan dan bernegara secara keseluruhan.
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kalian kedalam Islam secara keseluruhannya (kaffah), dan janganlah kalian
mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi
kalian.” (QS al-Baqarah [2]: 208).
Memelihara Takwa
Allah
SWT berfirman di ujung QS al-Baqarah [2]: 183: la’allakum tattaqun. Imam ath-Thabari menafsirkan ayat ini, “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa
(menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjimak dengan wanita ketika berpuasa.”
Imam
al-Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya, “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertakwa
dengan sebab berpuasa. Puasa adalah wasilah menuju takwa karena dapat
menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga
menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari
makanan, minuman dan jimak.”
Dalam
tafsir jalalayn dijelaskan dengan
ringkas, “Maksudnya, agar kalian bertakwa
dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber
maksiat.”
Dalam
bahasa arab, takwa berasal dari kata kerja ittaqo-yattaqi,
yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertakwa dari maksiat maksudnya
waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Adapun secara istilah, definisi
takwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq bin Habib al-‘Anazi: “Takwa adalah mengamalkan ketaatan kepada
Allah dengan cahaya Allah (dalil). Mengharap ampunan-Nya, meninggalkan maksiat
dengan cahaya-Nya (dalil) dan takut terhadap azab-Nya.”
Demikianlah
sifat orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa beribadah, bermuamalah, bergaul,
mengerjakan kebaikan karena teringat dalil yang menjanjikan pahala dari Allah
SWT; bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta atau orientasi duniawi.
Orang bertakwa juga senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah
dan Rasul-Nya, karena ia selalu mengingat ancaman-Nya yang pedih. Dari sini
kita tahu bahwa ketakwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki ilmuu tentang
al-Qur’an dan as-Sunnah.
Orang
yang bertakwa tidak akan berani memilih-milah perintah dan larangan Allah SWT.
Semua perintah dan larangan-Nya akan diperhatikan secara seksama agar tidak ada
yang dilanggar. Semua ajaran Islam diyakini dan ditaati tanpa bersikap mendua.
Termasuk berjuang menerapkan Islam secara sempurna, karena kewajiban ini adalah
tajul furudh (mahkota kwajiban) karena begitu banyak saat ini kewajiban yang
tidak dapat dilaksanakan disebabakan Islam tidak diterapkan secara sempurna
termasuk dalam ranah pemerintahan.
Kita
bisa melihat dengan jelas hal ini yaitu ketika bulan Ramadhan ini seluruh umat
Islam melaksanakkan perintah Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa”.
Pada akhir ayat tersebut
dijelaskan bahwa hikmah diwajibkannya puasa tidak lain adalah agar mereka yang
menjalaninya menjadi orang-orang yang bertakwa.
Apakah takwa itu? Sebagaimana
yang dijelaskan di atas Dalam bahasa arab, takwa berasal dari kata kerja ittaqo-yattaqi, yang artinya
berhati-hati, waspada, takut. Bertakwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut
terjerumus dalam maksiat. Caranya dengan menjalankan perintah Allah SWT dan
menjauhi segala larangan-Nya. Itulah pengertian taqwa.
Pertanyaan sekarang: apakah kita
benar-benar telah menjadi orang yang bertakwa? Untuk mengetahuinya, mari kita
lihat bagaimana sikap dan ketaatan kita terhadap berbagai perintah dan larangan
Allah SWT.
Misalnya, ketika Allah SWT
memerintahkan kita berpuasa, alhamdulillah, kita telah mampu menaati
dan mengamalkan kewajiban tersebut.
Selanjutnya, bagaimana sikap dan
ketaatan kita terhadap perintah Allah SWT yang lain, seperti kewajiban yang
telah tertuang dalam QS. Al-Baqarah 178: “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh,..”
Sekali lagi, bagaimana sikap
kita terhadap hal itu? Apakah kita siap untuk menaatinya? Atau, justru
mengabaikannya dan tidak peduli terhadap kewajiban tersebut? Padahal hikmah
dari diwajibkannya menjalankan qishaas tersebut juga sama dengan
pengamalan puasa, yaitu agar kita menjadi orang yang bertakwa.
Disinilah esensi takwa yang
harus senantiasa kita pelihara, yang harus kita lekatkan dalam jiwa kita, tidak
hanya di bulan Ramadhan akan tetapi juga bulan-bulan lainnya hingga akhir hayat
kita. Hingga Allah benar-benar memuliakan kita dengan takwa tersebut.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa diantara kalian.” (QS al-hujarat [49]: 13)
0 komentar:
Posting Komentar