Senin, 05 Agustus 2013

Menjaga Spirit Ramadhan


Bulan Ramadhan sudah di ujung hari, hiruk-pikuk sudah berganti, menyongsong syawal Idul Fitri. Lantas akankah masih membekas rutinitas kita di bulan Ramadhan tahun ini, sebagai bekal untuk menggapai Ridho ilahi dan menyambut Ramadhan tahun berikutnya.

Kita semua berharap, masih ada kekuatan Ramadhan yang senantiasa kita bawa di bulan-bulan berikutnya, yaitu takwa sebagai spirit (kekuatan) yang melekat pada diri kita, yang menjadi tujuan utama pelaksanaan ibadah puasa, sesuai dengan apa yang tersirat dalam firman Allah SWT: 
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”  (QS. Al Baqarah [2]: 183)


Imam ath-Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah "Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rosul-Nya.."

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, "Firman Allah SWT ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa.”

Dari ayat ini kita melihat dengan sangat gamblang adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah SWT memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman. Dengan demikian Allah SWT pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

Sejatinya perintah puasa di bulan Ramadhan semata-mata ditujukan hanya kepada orang yang beriman agar ia menjadi hamba yang bertakwa. Untuk itulah penting kita memahami apa itu iman, sudahkah kita menjadi hamba yang beriman yang tergolong kedalam orang-orang yang diseur dalam ayat tadi, dan takwa seperti apakah yang diharapkan melekat pada diri kita pasca Ramadhan.

Makna Iman

Apakah iman itu? Secara  bahasa artinya percaya atau membenarkan (Lihat: QS Yusuf [12]: 17).
Dan secara gamblang Rosulullah swa. Mejelaskan makna iman dalam sebuah hadis: “Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Kiamat, qadha dan qadar yang baik maupun yang buruk.” (HR Muslim).

Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang beriman. Orang yang enggan beribadah hanya kepada Allah, atau menyembah selain kepada Allah, bukanlah orang yang beriman. Orang yang enggan mengimani Muhammad saw. Sebagai Rasulullah, tidak mempercayai keberadaan maikat, tidak percaya kedatangan Hari Kiamat dan tidak mempercayai takdir juga bukan orang yang beriman. Orang yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, misalnya menghalalkan zina atau menolak penerapan Islam secara kaffah, adalah kafir (tidak beriman). Orang yang mengingkari atau ragu terhadap perkara yang pasti (qath’i) juga tidak beriman (kafir), sama saja apakah dalam perkara akidah ataupun dalam perkara syariah.

Iman menuntut konsekuensi, tidak hanya ucapan dimulut, Allah SWT berfirman: “Demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tidak menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisa’ [4]: 65).

Tidaklah patut laki-laki Mukmin maupun perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada bagi mereka pilihan (lain) tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah benar-benar tersesat.” (QS al-Ahzab [33]: 36).

Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, membayar zakat dan amalan-amalan lahiriah lainya, atau enggan terikat dengan syariah Allah SWT yang manapun. Orang mukmin itu harus terikat dengan Islam secara keseluruhan tanpa kecuali. Dia wajib menjalankan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Dia wajib terikat dengan syariah dalam hal makanan, minuman, pakaian dan akhlaq. Dia juga wajib terikat dengan syariah dalam hal muamalah seperti masalah politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, pendidikan, kesehatan dan bernegara secara keseluruhan. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhannya (kaffah), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS al-Baqarah [2]: 208).

Memelihara Takwa

Allah SWT berfirman di ujung QS al-Baqarah [2]: 183: la’allakum tattaqun. Imam ath-Thabari menafsirkan ayat ini, “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjimak dengan wanita ketika berpuasa.

Imam al-Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya, “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertakwa dengan sebab berpuasa. Puasa adalah wasilah menuju takwa karena dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jimak.

Dalam tafsir jalalayn dijelaskan dengan ringkas, “Maksudnya, agar kalian bertakwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat.”

Dalam bahasa arab, takwa berasal dari kata kerja ittaqo-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertakwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Adapun secara istilah, definisi takwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq bin Habib al-‘Anazi: “Takwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil). Mengharap ampunan-Nya, meninggalkan maksiat dengan cahaya-Nya (dalil) dan takut terhadap azab-Nya.

Demikianlah sifat orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena teringat dalil yang menjanjikan pahala dari Allah SWT; bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta atau orientasi duniawi. Orang bertakwa juga senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia selalu mengingat ancaman-Nya yang pedih. Dari sini kita tahu bahwa ketakwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki ilmuu tentang al-Qur’an dan as-Sunnah.

Orang yang bertakwa tidak akan berani memilih-milah perintah dan larangan Allah SWT. Semua perintah dan larangan-Nya akan diperhatikan secara seksama agar tidak ada yang dilanggar. Semua ajaran Islam diyakini dan ditaati tanpa bersikap mendua. Termasuk berjuang menerapkan Islam secara sempurna, karena kewajiban ini adalah tajul furudh (mahkota kwajiban) karena begitu banyak saat ini kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan disebabakan Islam tidak diterapkan secara sempurna termasuk dalam ranah pemerintahan.

Kita bisa melihat dengan jelas hal ini yaitu ketika bulan Ramadhan ini seluruh umat Islam melaksanakkan perintah Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Pada akhir ayat tersebut dijelaskan bahwa hikmah diwajibkannya puasa tidak lain adalah agar mereka yang menjalaninya menjadi orang-orang yang bertakwa.

Apakah takwa itu? Sebagaimana yang dijelaskan di atas Dalam bahasa arab, takwa berasal dari kata kerja ittaqo-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertakwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Caranya dengan menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Itulah pengertian taqwa.

Pertanyaan sekarang: apakah kita benar-benar telah menjadi orang yang bertakwa? Untuk mengetahuinya, mari kita lihat bagaimana sikap dan ketaatan kita terhadap berbagai perintah dan larangan Allah SWT.

Misalnya, ketika Allah SWT memerintahkan kita berpuasa, alhamdulillah, kita telah mampu menaati dan mengamalkan kewajiban tersebut.

Selanjutnya, bagaimana sikap dan ketaatan kita terhadap perintah Allah SWT yang lain, seperti kewajiban yang telah tertuang dalam QS. Al-Baqarah 178: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh,..”

Sekali lagi, bagaimana sikap kita terhadap hal itu? Apakah kita siap untuk menaatinya? Atau, justru mengabaikannya dan tidak peduli terhadap kewajiban tersebut? Padahal hikmah dari diwajibkannya menjalankan qishaas tersebut juga sama dengan pengamalan puasa, yaitu agar kita menjadi orang yang bertakwa.

Disinilah esensi takwa yang harus senantiasa kita pelihara, yang harus kita lekatkan dalam jiwa kita, tidak hanya di bulan Ramadhan akan tetapi juga bulan-bulan lainnya hingga akhir hayat kita. Hingga Allah benar-benar memuliakan kita dengan takwa tersebut.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa diantara kalian.” (QS al-hujarat [49]: 13)

0 komentar:

Posting Komentar

 
;